Hariyanto dan Siasat Menyusun Wajah Wisata Indonesia
Oleh: Doddi Ahmad Fauji
Ketika Negara Belajar Menyambut
Ada banyak cara membangun sebuah negeri. Sebagian memilih jalan industri.
Sebagian lagi mengandalkan tambang, atau megaproyek infrastruktur. Tapi ada
satu jalan yang kerap dilupakan—jalan yang tak selalu diukur dengan angka
ekspor atau volume kontainer, tapi dengan sapaan ramah, cerita warga, dan jejak
kaki orang asing yang pulang dengan hati penuh kenangan. Itu adalah jalan
pariwisata.
Indonesia, dengan ribuan pulaunya, bukan hanya diberkahi
alam yang memesona, tapi juga masyarakat yang secara alamiah tahu cara
menyambut tamu. Namun dalam sistem yang terburu-buru dan birokrasi yang kadang
kaku, nilai-nilai itu kadang terkikis. Di sinilah peran seorang seperti
Hariyanto, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur di
Kementerian Pariwisata, menjadi penting.
Saya menemuinya dalam suasana yang jauh dari formal. Tak
ada tumpukan dokumen. Tak ada seliweran pejabat bersetelan lengkap. Hanya ruang
terang, pemandangan taman, dan secangkir kopi hitam dari desa wisata yang ia
kunjungi minggu sebelumnya.
Yang terjadi selanjutnya bukan sekadar wawancara. Tapi
percakapan tentang arah, tentang nilai, dan tentang wajah Indonesia yang ingin
ditampilkan ke dunia. Bukan wajah metropolitan yang seragam. Tapi wajah desa,
wajah pelabuhan kecil, wajah penjaja rujak di pinggir pantai, dan wajah ibu-ibu
yang menyambut tamu dengan tangan hangat dan hati terbuka.
Melalui enam bagian berikut, esai ini mencoba menangkap
bukan hanya isi kepala Hariyanto, tetapi juga denyut idealisme dan kesabaran
seorang pejabat yang percaya bahwa pembangunan sejati dimulai dari senyum—bukan
semen. Bahwa teknologi boleh memandu arah, tetapi manusia yang menentukan
makna. Dan bahwa pariwisata, jika dibangun dengan hati, bisa menjadi jembatan
antara sejarah dan masa depan, antara desa dan dunia, antara bangsa dan dirinya
sendiri. Inilah catatan dari perbincangan panjang kami. Ia bisa dibaca sebagai
wawancara. Bisa juga sebagai esai. Tapi barangkali, paling tepat dibaca sebagai
undangan: untuk melihat kembali cara kita menyambut orang lain—dan mungkin,
juga menyambut diri sendiri.
1. Memulihkan
yang Retak, Membangun yang Lupa
Ada luka yang tak selalu membekas di kulit, tapi terasa
dalam pada denyut ekonomi dan budaya sebuah pulau. Bali 2002 adalah satu dari
sedikit tragedi yang menguji bukan hanya keamanan nasional, tapi daya tahan
spiritual sebuah bangsa. Ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club menghapus ratusan
nyawa, tetapi juga memukul telak satu sektor: pariwisata. Yang biasanya riuh
oleh bahasa asing, mendadak sunyi. Hotel jadi kosong. Warung-warung tutup.
Ekonomi pariwisata roboh.
Hariyanto mengisahkan momen itu bukan dengan dramatik,
tapi dengan sebuah kalimat yang jernih: “Kami tak hanya kehilangan
wisatawan. Kami kehilangan rasa percaya.”
Di titik itu, pemerintah tak hanya membenahi
infrastruktur. Mereka memulai sesuatu yang lebih subtil: membenahi relasi.
Lewat arahan Menteri I Gede Ardika, masyarakat Bali diajak untuk mengubah cara
pandang. Bahwa wisatawan Nusantara tak kalah mulia dari turis Eropa. Bahwa
hormat tak boleh selektif.
Seruan ini bukan sekadar slogan. Pemerintah memindahkan
agenda nasional ke Bali sebagai bentuk solidaritas. Insentif untuk warga lokal
digencarkan. Tapi yang paling penting: masyarakat Bali menyambut dengan hati
yang lebih lapang. Wisatawan domestik kini tak sekadar disambut, mereka
dihormati.
“Perubahan itu,” kata
Hariyanto, “membuat kami sadar: pariwisata bukan sekadar produk, melainkan
hubungan sosial.”
Di tengah gempuran industri global dan budaya instan,
Indonesia memilih arah unik: membangun kembali dari simpul-simpul sosialnya.
Ini adalah pelajaran bahwa trauma bisa jadi titik awal. Dan pemulihan tak hanya
soal uang atau infrastruktur, tapi soal martabat dan tata nilai.
Kisah ini menjadi titik berangkat dari pendekatan
pariwisata Indonesia pasca 2002. Bukan lagi hanya menjual panorama dan
eksotisme, tapi menawarkan pengalaman yang manusiawi. Karena turis sejatinya
datang bukan untuk sekadar melihat, tapi untuk merasa: disambut, dimuliakan,
dimanusiakan.
Hariyanto menyebut tragedi itu sebagai “kursus kilat
kemanusiaan.” Ia mengenang bagaimana anak-anak muda Bali belajar menyambut
dengan lebih ramah, bagaimana pemilik penginapan kecil tak lagi mengeluh soal
“bule yang tak datang,” tapi bersyukur pada keluarga dari Solo yang menginap
dua malam.
Peristiwa itu menandai titik balik, yang kemudian menjadi
landasan arah baru: wisata berbasis nilai. Dan nilai yang utama, menurut
Hariyanto, adalah kesetaraan.
Hari ini, ketika ia berbicara tentang pembangunan
destinasi, ia selalu kembali pada cerita itu. Bagi dia, puncak pembangunan
bukanlah bandara megah atau hotel bintang lima. Tapi saat seorang ibu di desa
menyambut turis—entah dari Jerman atau dari Blitar—dengan air putih, makanan
hangat, dan senyum yang jujur.
“Kalau kita sudah bisa menghargai setiap tamu, tanpa
lihat warna kulit atau bahasa, di situlah pariwisata Indonesia jadi kuat,”
ujarnya.
Bali 2002 mengajarkan kita: tempat bisa rusak, tapi nilai
bisa menyelamatkan. Dan dari luka itulah, kita belajar membangun—bukan hanya
infrastruktur, tapi cara kita memandang orang lain.
2. Quality
Over Quantity: Dari Angka ke Pengalaman
Di sebuah pertemuan teknokratik yang biasanya kaku,
Hariyanto pernah membalikkan suasana hanya dengan satu pertanyaan: “Apakah
Anda ingat wajah dari tempat terakhir yang Anda kunjungi, atau hanya jumlah
follower yang menyukai fotonya?”
Ruangan mendadak sunyi, lalu perlahan orang mulai
tersenyum. Karena pertanyaan itu, meski ringan, menggugah inti dari paradigma
baru yang sedang coba dibangun Kemenpar: bahwa pengalaman jauh lebih berarti
dari angka.
Sejak 2020, pandemi telah merombak cara manusia
bepergian. Turisme massal, yang dulu jadi tolok ukur kesuksesan—berapa juta
orang yang datang, berapa miliar yang dibelanjakan—tiba-tiba terasa rapuh.
Pariwisata jadi sektor yang pertama kali tumbang dan terakhir bangkit. Tapi
dari reruntuhan itu, sebuah peluang lahir: membangun ulang, bukan sekadar
dengan target kuantitatif, tapi dengan filosofi.
“Quality tourism bukan jargon,” tegas
Hariyanto. “Itu strategi. Itu niat untuk tidak lagi mengejar angka semata,
melainkan membangun relasi, ekosistem, dan nilai jangka panjang.”
Ia berbicara dengan gairah ketika menjelaskan bagaimana
sektor ini kini diarahkan untuk menyentuh tiga pilar utama: keberlanjutan
lingkungan, pelibatan komunitas, dan peningkatan kualitas pengalaman wisatawan.
Di bawah visi Presiden Prabowo, pemerintah menargetkan kontribusi sektor
pariwisata terhadap PDB sebesar 4,6% pada 2025, dan USD 34 miliar devisa pada
2029. Namun angka-angka itu, katanya, hanya kulit luar.
Yang menjadi jiwa kebijakan ini adalah perubahan cara
berpikir: dari membangun tempat, menjadi membangun makna.
Contohnya adalah pendekatan pada wisata bahari. Dulu,
lokasi diving hanya jadi daftar spot dalam brosur. Kini, setiap titik selam
dikaji nilai konservasinya, diawasi keberlanjutan terumbu karangnya, dan
komunitas lokalnya diberdayakan sebagai pemandu bersertifikat. “Kami ingin
wisatawan pulang membawa pengalaman spiritual, bukan hanya hasil jepretan
kamera underwater,” ujarnya.
Hal serupa diterapkan pada gastronomi. Makanan bukan
sekadar pelengkap, tapi narasi budaya. Pemerintah mendorong pelatihan kuliner
tradisional, promosi makanan lokal di festival internasional, dan integrasi
kisah-kisah rakyat ke dalam penyajian. Wisatawan tak hanya kenyang—mereka
paham.
Maka tak heran jika kini pendekatan Kemenpar terasa
sangat berbeda. Dalam penilaian program, hal-hal seperti durasi tinggal,
interaksi dengan masyarakat, hingga tingkat kepuasan terhadap
keramahan lokal menjadi indikator penting. Keberhasilan destinasi tidak
diukur dari seberapa cepat penuh saat libur panjang, tetapi seberapa sering
orang ingin kembali meski tak ada promosi.
“Kalau tempatmu bisa membuat orang menyesal saat
meninggalkan, itu baru destinasi,” ujar Hariyanto, sambil tertawa
kecil.
Bagi dia, kualitas bukan soal eksklusivitas. “Quality
tourism bukan hanya untuk turis asing yang bayar mahal. Bahkan wisatawan lokal
pun berhak mendapat pengalaman terbaik, terhormat, dan berarti.”
Dan dalam pengalamannya, wisatawan yang bahagia tak
selalu bicara soal fasilitas. Mereka bicara tentang percakapan hangat dengan
penjaga museum tua. Tentang sarapan pagi di dapur warga. Tentang mendengar
cerita masa kecil dari pemilik homestay.
Semua itu, katanya, adalah investasi paling berharga
dalam pembangunan destinasi: keintiman yang tak bisa dinilai dengan grafik atau
grafik Excel.
3. Desa,
Titik Pijak dan Titik Lompat
Ketika saya menyebut kata “desa,” Hariyanto tak menunggu
lama untuk merespons. “Desa adalah tempat kita kembali dan tempat Indonesia
bisa melompat,” katanya, sambil menekankan bahwa masa depan pariwisata
Indonesia bukan di kota besar atau megaproyek reklamasi, melainkan di
lorong-lorong kecil yang penuh cerita dan senyum jujur.
Dalam berbagai forum nasional, ia tidak bosan menyerukan
satu gagasan penting: bahwa desa bukan hanya latar belakang eksotisme, tapi
aktor utama pembangunan. “Kalau kamu ingin tahu wajah Indonesia yang
sesungguhnya, pergilah ke desa,” ujarnya. “Di sana kita bisa menemukan bukan
hanya keindahan, tapi makna.”
Program Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) menjadi
bukti konkret dari keyakinan itu. Sejak diluncurkan, ADWI bukan hanya
kompetisi. Ia adalah katalis—pemicu kebangkitan ekonomi lokal yang berbasis
budaya dan keterlibatan warga. Dari ribuan desa yang mendaftar, ratusan telah
dibina, dilatih, bahkan difasilitasi untuk masuk ke dalam ekosistem digital
pariwisata nasional.
Namun bagi Hariyanto, nilai program ini tak berhenti pada
data. Ia bercerita tentang satu desa di Sulawesi yang dahulu tak punya sinyal
internet dan kini justru menjadi destinasi bagi digital nomad karena keunikan
budaya dan keramahan warganya. Tentang anak muda yang pulang dari kota bukan
untuk mencari kerja, tapi untuk membuka paket wisata. Tentang ibu-ibu yang
dulunya hanya menjahit untuk tetangga, kini produknya masuk ke etalase bandara.
“Desa itu laboratorium masa depan,”
ujarnya. “Di sana kita bisa uji coba pariwisata regeneratif—yang menjaga
budaya, memberdayakan ekonomi, dan melindungi lingkungan.”
Salah satu transformasi kunci yang kini didorong adalah
konversi Pokdarwis menjadi koperasi wisata. Ini bukan sekadar pengubahan bentuk
kelembagaan, tetapi penguatan struktur ekonomi. Sebuah Pokdarwis biasanya
berbasis semangat gotong royong, tapi tanpa model bisnis yang kuat, mereka
sering rentan terhadap ketergantungan dana hibah. Dengan menjadi koperasi,
mereka bisa mengakses pembiayaan, membentuk unit usaha, dan memberikan dividen
ke anggota.
Namun tantangan terbesar, kata Hariyanto, tetaplah soal
pola pikir. “Masih banyak yang menganggap desa itu tempat menunggu bantuan.
Kami ajak mereka untuk jadi kreator, bukan penerima.”
Itu sebabnya, selain infrastruktur dan promosi, program
pendampingan jadi kunci. Pelatihan literasi digital, manajemen keuangan,
pembuatan paket wisata, hingga storytelling budaya dilakukan hampir
setiap bulan. Dan semua itu diarahkan bukan untuk membentuk desa menjadi
replika kota, melainkan agar desa tetap menjadi dirinya—dengan keaslian dan
keunikannya.
Baginya, desa tak boleh kehilangan identitas hanya demi
mengejar estetika turisme. “Kalau kamu sulap desa jadi seperti resort, kamu
hanya dapat wisatawan, tapi kehilangan jiwa,” katanya tajam.
Di akhir percakapan kami tentang desa, ia mengambil
ponsel dan memperlihatkan foto: seorang kakek sedang memandu wisatawan
menyusuri sawah, sambil bercerita tentang legenda lokal. “Ini bukan aktor.
Ini tokoh nyata. Dan inilah pariwisata yang saya perjuangkan—di mana warga
menjadi pencerita, bukan dekorasi.”
Desa, dalam bayangan Hariyanto, adalah titik pijak untuk
membumi dan titik lompat untuk menatap dunia. Bukan hanya untuk turis, tapi
untuk Indonesia sendiri—agar ingat darimana ia berasal, dan tahu ke mana ia
ingin menuju.
4. Senyum,
Bukan Bandara
Suatu hari, dalam sebuah kunjungan ke desa wisata di
Kalimantan Tengah, Hariyanto melihat sesuatu yang ia anggap lebih penting dari
jalan beton atau jembatan gantung: seorang ibu tua menyapa rombongan wisatawan
dengan tangan terbuka, mata berbinar, dan tawa yang tak dibuat-buat. Tidak ada
papan sambutan, tidak ada dekorasi mewah. Hanya sebuah pelukan budaya yang tak
terlihat, tapi terasa hangat.
“Mereka mungkin datang karena ingin lihat orangutan. Tapi
mereka pulang karena keramahan ibu itu,” katanya
sambil tersenyum.
Itulah mengapa, menurutnya, membangun destinasi tidak
bisa hanya dengan membangun bandara, resort, atau pusat oleh-oleh. “Semua
itu penting, iya. Tapi bukan itu yang membuat orang ingin kembali,”
ujarnya. “Yang membuat orang kembali adalah rasa diterima.”
Maka tak heran jika Kemenpar mengarusutamakan pendidikan
karakter pariwisata. Program seperti Sadar Wisata dan Sapta Pesona
bukan hanya kampanye. Mereka adalah proses panjang menanamkan kesadaran
kolektif bahwa setiap warga, setiap pelayan warung, tukang ojek, atau anak-anak
kecil yang bermain di pinggir jalan, adalah bagian dari ekosistem pariwisata.
Mereka semua tuan rumah.
“Senyum, kebersihan, keramahan, rasa aman, dan suasana
damai adalah modal utama. Tanpa itu, bandara sebesar apapun tak akan
menyelamatkan destinasi dari kehampaan.”
Hariyanto bahkan menyebut program Gerakan Wisata
Bersih sebagai revolusi diam-diam. Ia tidak datang dengan proyek jutaan
dolar, tetapi dengan sapu lidi, tempat sampah, dan ajakan mulut ke mulut.
Hasilnya? Pantai-pantai yang dulu penuh sampah kini jadi tempat syuting
sinetron. Jalan desa yang dulu becek, kini dihias mural hasil karya anak-anak
lokal.
Dan yang terpenting: warga mulai bangga.
“Ketika masyarakat merasa bahwa mereka adalah bagian dari
destinasi, mereka akan menjaganya. Bukan karena disuruh, tapi karena cinta,”
ujarnya.
Ia mengutip satu survei internal: tingkat kepuasan
wisatawan terhadap keramahan lokal meningkat tajam, bahkan lebih tinggi dari
penilaian terhadap fasilitas. Ini membuktikan, katanya, bahwa manusia tetap
mencari pengalaman emosional di tengah dunia yang makin mekanis.
Dalam paradigma baru Kemenpar, senyum bukanlah aksesori.
Ia adalah infrastruktur sosial. Bandara bisa rusak. Jalan bisa bolong. Tapi
sapaan hangat, keramahan, dan penghormatan tak bisa diganti oleh teknologi.
“Yang harus kita bangun adalah narasi: bahwa setiap tamu
yang datang ke Indonesia adalah tamu yang dimuliakan, tak peduli apakah dia
membayar jutaan atau hanya naik motor dari kota sebelah.”
Sebuah negara bisa punya 10.000 destinasi, tetapi jika
tak punya manusia yang siap menyambut, semua itu hanya latar kosong. “Senyum
adalah pernyataan niat,” katanya. “Bahwa kita bukan sekadar ingin
dikunjungi. Kita ingin dikenang.”
Bagi Hariyanto, inilah bentuk pariwisata tertinggi: bukan
sekadar kedatangan, melainkan keterikatan. Dan dalam dunia yang serba cepat dan
anonim, Indonesia masih punya satu hal yang otentik—sambutan yang hangat dan
tulus.
5. Teknologi
yang Tak Menyisakan Manusia
Dalam perbincangan kami, topik yang paling cepat mengubah
nada suara Hariyanto adalah soal teknologi. Ia tidak menampik pentingnya
inovasi—malah, ia menyambutnya dengan antusias. Tapi ia juga mengingatkan:
teknologi tidak boleh jadi alasan untuk meninggalkan kemanusiaan.
“Boleh pakai AI, boleh bikin virtual tour,”
katanya. “Tapi jangan sampai kita lupa bahwa di balik semua itu, wisata
adalah relasi manusia dengan manusia.”
Itulah mengapa pendekatan Kemenpar terhadap digitalisasi
pariwisata tidak hanya soal membangun aplikasi canggih, tetapi soal bagaimana
teknologi menjembatani ketulusan. “Kalau teknologi malah bikin wisatawan
merasa dingin, berarti kita keliru dalam memakainya,” ujarnya.
Salah satu proyek ambisius yang ia banggakan adalah
SISPARNAS (Sistem Informasi Kepariwisataan Nasional). Ini bukan sekadar dashboard
digital. Ia adalah semacam nadi elektronik yang mengumpulkan data
pariwisata dari seluruh Indonesia secara real-time. Dengan sistem ini,
pemerintah pusat bisa mengetahui tren wisata, arus kunjungan, hingga kekuatan
daya saing suatu daerah.
Namun bagi Hariyanto, data hanyalah alat bantu. “Kami
tetap harus datang ke lapangan, bicara dengan warga, merasakan denyut desa.
Algoritma tak bisa mencium aroma dapur ibu-ibu di desa wisata,” katanya
dengan senyum reflektif.
Teknologi juga digunakan untuk meningkatkan literasi
pelaku wisata. Pelatihan digital marketing, pencatatan keuangan digital, bahkan
pengelolaan reservasi secara daring kini menjadi kurikulum wajib di program
pendampingan desa wisata.
Ia mencontohkan seorang pemuda di Nusa Tenggara Timur
yang dulunya hanya jadi tukang ojek. Setelah ikut pelatihan, ia membuka paket
tur lewat Instagram dan WhatsApp. “Sekarang, dia punya tiga motor, dua
karyawan, dan bahkan disewa oleh travel agent dari Australia,” kisahnya.
Inilah esensi yang ia maksud: teknologi harus
melipatgandakan nilai manusia, bukan menghapus perannya.
Dalam konteks promosi, teknologi juga jadi senjata baru.
Pemerintah mulai memakai AI untuk menganalisis preferensi wisatawan. Misalnya,
dari data pencarian dan aktivitas media sosial, sistem bisa merekomendasikan
promosi spesifik untuk target tertentu: selancar untuk anak muda, wisata
spiritual untuk manula, atau kuliner halal untuk wisatawan Muslim.
Tapi meski sudah bicara data besar dan kecerdasan buatan,
Hariyanto tetap kembali pada hal-hal kecil. “AI bisa tahu kamu suka sunset.
Tapi hanya manusia yang bisa tahu kenapa kamu menangis saat melihatnya,”
ujarnya.
Virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) pun kini
mulai digunakan. Turis bisa menjelajah Borobudur lewat ponsel sebelum datang
langsung. Museum bisa menghadirkan sejarah lewat pengalaman imersif. Tapi di
setiap inovasi itu, prinsipnya tetap sama: jangan sampai teknologi menjadi
pengganti interaksi, melainkan pengantar rasa penasaran yang membawa orang
untuk bertemu langsung.
Bagi Hariyanto, teknologi adalah pintu, bukan ruang tamu.
Ia membuka jalan, tapi yang menyambut tetap manusia.
Dan di dunia yang makin tenggelam dalam gawai, ia
percaya: senyum hangat, cerita lisan, dan kehadiran nyata akan jadi komoditas
langka yang paling dicari. “Teknologi harus memperkuat empati,” katanya.
“Kalau tidak, kita hanya akan punya pameran digital dari negeri yang sudah
lupa cara menyambut tamu.”
6. Refleksi:
Siapa yang Sebenarnya Butuh Wisata?
Ketika saya menutup buku catatan dan memandang ke luar
jendela ruang kerja Hariyanto, awan Jakarta menggantung rendah seperti menggoda
satu pertanyaan terakhir. Maka saya ajukan—bukan dalam bentuk strategi atau
angka, tapi dalam bentuk perenungan:
"Menurut Bapak, siapa yang sebenarnya butuh wisata?"
Hariyanto diam sejenak, lalu menjawab dengan lirih,
nyaris seperti menjawab dirinya sendiri, “Kita semua.”
Pertama, kata beliau, wisata bukan hanya soal rekreasi
atau pengeluaran uang. Wisata adalah ruang jeda—tempat manusia berhenti sejenak
dari rutinitas, dari layar, dari berita buruk, dan dari segala tekanan hidup.
Tapi lebih dari itu, wisata adalah proses mengenali diri lewat orang lain, dan
mengenali negeri lewat warganya.
Ia percaya bahwa wisata adalah jalan sunyi yang penuh
cermin. “Ketika kita jalan ke desa lain, kita seperti mengunjungi potongan
jiwa Indonesia yang lain. Kita belajar rendah hati, belajar melihat bahwa yang
berbeda bukan berarti salah.”
Maka, bagi Hariyanto, pembangunan pariwisata bukan hanya
soal mendatangkan wisatawan, melainkan juga mengajak warga negeri ini mengenal
dirinya sendiri. Desa yang dibuka untuk kunjungan bukan sekadar objek,
melainkan panggung tempat warga tampil percaya diri—menceritakan sejarah
mereka, menyuguhkan makanan mereka, dan menampilkan cara mereka menyambut
hidup.
“Pariwisata yang baik tak hanya membuat tamu bahagia,
tapi juga membuat tuan rumah merasa berarti,” katanya.
Itulah mengapa ia sering mengatakan: dalam pariwisata, yang tumbuh bukan hanya
ekonomi, tapi martabat.
Ketika pariwisata dibangun dengan pola pikir yang benar,
desa tak lagi menunggu bantuan. Mereka menjadi produsen narasi dan pelaku
perubahan. Ketika wisatawan diposisikan sebagai tamu dan bukan konsumen,
hubungan yang tercipta lebih dalam dari sekadar transaksi. Di sanalah terletak
inti dari pembangunan manusia.
Hariyanto juga melihat wisata sebagai jembatan antara
generasi. Anak-anak muda yang biasanya tak tertarik pada sejarah lokal
tiba-tiba jadi pemandu yang bangga menceritakan kisah kakeknya. Remaja yang
dulunya ingin lari ke kota, kini belajar menyanyi lagu daerah dan mengunggahnya
ke TikTok. Dan para orang tua, yang tadinya malu karena hanya bisa bahasa
daerah, justru kini jadi kekayaan budaya yang dilestarikan. Tampaknya, kejadian
nyata tentang alamiahnya warga di tiap pelosok pedesaan, sejalan dengan prediksi
John Naisbit dalam bukunya Paradoks
Global: Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Pemain Terkecilnya . William Morrow &
Company, Inc., 1994.
“Pariwisata yang benar adalah dialog lintas usia, lintas
pulau, dan lintas hati,” katanya pelan.
Dalam kata-katanya, terdengar satu hal yang jarang
diucapkan dalam seminar ekonomi atau laporan proyek: bahwa wisata bisa
menyembuhkan. Menyembuhkan keterasingan sosial, menyambung identitas yang
tercerai, bahkan menyalakan harapan yang redup.
“Mungkin sebenarnya yang paling butuh wisata adalah
bangsa ini sendiri,” tutupnya. “Agar kita bisa saling melihat, saling
menghargai, dan akhirnya—saling mencintai.”
Negeri yang Tahu Cara Menyambut
Ada satu hal yang tak bisa dibeli oleh promosi miliaran
rupiah, atau dibangun oleh megaproyek bertahun-tahun: rasa diterima. Dan dalam
pembicaraan panjang bersama Hariyanto, saya belajar bahwa itulah kunci dari
pariwisata yang benar-benar bermakna. Bukan sekadar soal kunjungan, tetapi soal
keterikatan. Bukan hanya angka di dashboard kementerian, tetapi kesan
yang tinggal di hati seorang tamu.
Ketika pariwisata dibangun di atas nilai—kesetaraan,
keramahan, kebersihan, rasa hormat, dan kebanggaan lokal—ia tak hanya menjadi
sektor ekonomi. Ia menjadi ruang perjumpaan. Ruang di mana orang kota belajar
kembali menyapa, orang desa belajar percaya diri, dan bangsa ini belajar
merayakan dirinya sendiri, bukan lewat imitasi, tapi lewat keaslian.
Hariyanto tidak menjanjikan jalan yang mudah. Ia tahu ada
tantangan—ketimpangan, birokrasi, SDM yang belum siap, bahkan budaya instan
yang membanjiri media sosial. Tapi ia percaya pada satu hal yang tetap: warga
yang siap menjadi tuan rumah.
Dalam dunia yang makin tidak personal, Indonesia masih
punya kelebihan yang tidak bisa ditiru oleh negara mana pun: kebudayaan
menyambut. Senyum. Sapa. Cerita. Kain tenun yang dibuka di teras. Makanan
sederhana yang disajikan dengan bangga. Semua itu bukan hanya elemen wisata.
Itu adalah wajah Indonesia.
Dan barangkali, di situlah esensi pariwisata Indonesia
yang sedang dibangun oleh tangan-tangan seperti Hariyanto. Sebuah pembangunan
yang tidak sekadar menata ruang, tetapi juga menata hati. Sebuah kemajuan yang
tidak meninggalkan akar, melainkan menyiraminya.
Jadi jika suatu hari Anda menginjakkan kaki di sebuah
desa kecil, lalu disambut oleh seorang kakek yang menceritakan legenda sungai
sambil menyodorkan teh hangat, jangan buru-buru mengira Anda hanya sedang
berwisata.
Mungkin, Anda sedang menjadi bagian dari sesuatu yang
lebih besar: upaya satu bangsa untuk mengenali dan mencintai dirinya
sendiri—melalui cara ia menyambut orang lain.
Bandung, 2025
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan cum wartawan.
0 Response to "DESTINASI BERNAMA RAMAH"
Posting Komentar